Banyak yang bilang jadi ketua itu enak. Tinggal suruh. Semua beres. Tinggal duduk, pasang telunjuk, bawahan tunduk. Tapi jelas saya menghindari posisi itu. Bukan karena tidak percaya dengan anggapan "enak" itu. Tapi, sumpah, lebih "enak" jadi bawahan.
Ketua adalah ujung, pucuk, mata, dan pengemban amanat paling berat. Wewenang yangdiberikan memang besar. Tapi bebannya juga besar.
Maka yang paling harus saya siapkan kalau terpaksa ada di posisi itu adalah menganalisis kemungkinan terburuknya. Mampukah saya ? Sanggupkah saya ? Apa ruginya kalau saya menerima ? Apa ruginya bagi lembaga atau institusi yang menunjuk saya ? Kenapa saya yang ditunjuk ? Kenapa bukan orang lain ? Bukankah masih banyak yang lebih baik dari saya ? Kalau memang demikian, mengapa saya yang dipilih ?
Tapi,bagi saya, pantang menolak tugas. Hanya pengecut yang melakukannya. Bukan berarti sok berani menerima posisi itu. Tapi, lari dari tanggung jawab ? Seperti kalah sebelum perang. Malu pada diri sendiri kalau jadi pecundang. Urusan ini, bukan orang lain yang menilai, tapi diri sendiri.
Saya tahu, kalau jadi ketua harus siap disalahkan. Kalau perlu tidak usah bawahan yang disalahkan. Sayalah yang harus dan memang patut dihujani sumpah serapah. Satu kesalahan kecil yang dilakukan anggota, ketua yang ditimpakan kesalahan itu.
Saya paham betul, kritik jelas akan dialamatkan pada ketua. Segala kekurangan yang ada di lapangan akan menempatkan ketua pada target bidik. Persiapannya, harus menguatkan hati agar tahan dan tidak hancur oleh hunjaman yang bertubi-tubi itu.
Saya mengerti, cemoohan akan banyak mampir di telinga. Maka harus menebalkan muka, menguatkan rasa, menebalkan telinga. Untuk sebuah perjuangan memang harus menomor sekian yang namanya "perasaan" diri sendiri. Meski rasanya tidak adil ketika harus memahami dan menjaga "perasaan" orang lain. memang harus korban perasaan.
Pengetahuan tidak berarti apa-apa tanpa memperbaharui pemikiran setiap hari (Albert Einstein)
Tampilkan postingan dengan label amanat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label amanat. Tampilkan semua postingan
Selasa, 24 Desember 2013
Rabu, 14 Agustus 2013
Jari Sakti
Jari Sakti itu benar-benar ada. Tak perlu jadi raja untuk memilikinya. Sebab ma’had telah memberikannya sebagai ekspresi dari wujud sebuah wibawa. Jika ma’had telah memberikan titah serta kewenangan, jari sakti itu adalah sebuah keniscayaan.
Maka berdirilah dengan penuh percaya diri di hadapan para santri. Siapkan telunjukmu, lengkap dengan instruksi yang tercetak rapi di kepala. Kerjakan semua tugas dengan jari sakti. Itu modal yang berharga. Semangat dapat tersalurkan dan etos kerja ditransfer lewat jari sakti itu. Kepada para penerus, kepada para pengganti, dan kepada para pelengkap.
Terimalah anugerah jari sakti dengan penuh amanat. Jangan diselewengkan.
Langganan:
Postingan (Atom)