Selasa, 01 Februari 2011

Hermeneutika

Oleh Adian Husaini MA

Istilah hermeneutika agaknya masih sangat asing di telinga sebagian besar umat Islam di tanah air. Tidak demikian halnya apabila melihat historis hermeneutika itu yang ternyata sudah ada selama berabad-abad lampau serta berkembang pesat di Eropa Barat. Sebagai sebuah metode interpretasi teks Bibel, hermeneutika terutama digunakan untuk mengakomodasi dinamika perkembangan zaman. Dan inilah yang lantas melahirkan tradisi sekular-liberalisme di Barat pada abad pertengahan. Kini, hermeneutika yang berasal dari tradisi Barat-Nasrani tersebut coba diterapkan pada Alquran.


Mengutip majalah Islamia edisi Maret 2004, saat ini ada kecenderungan di kalangan Muslim modernis untuk menjadikan hermeneutika sebagai pengganti ilmu tafsir Alquran. Di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia, bahkan hermeneutika diajarkan sebagai mata kuliah khusus. Akan tetapi, seperti dikemukakan Adian Husaini MA, kandidat PhD di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur, tradisi keagamaan dalam memahami Alquran dan Bibel tentu berbeda dan realitasnya menghasilkan peradaban yang berbeda pula. Terkait persoalan itu, berikut petikan wawancara wartawan Republika Yusuf Assidiq dengan Adian seputar perkembangan hermeneutika di sela workshop Pemikiran dan Peradaban Islam di Jakarta, akhir pekan lalu:

Bisa dijelaskan apa hermeneutika itu ?

Kajian hermeneutika ini menarik. Bagi sebagian besar umat Muslim di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawannya, mungkin suatu istilah yang baru dikenal. Harmeneutika adalah metode tafsir yang berasal dari Yunani dan berkembang pesat sebagai metode intepretasi Bibel. Jadi ini adalah sebuah metode interpretasi yang hidup dalam tradisi Nasrani yang kemudian menumbuhkan tradisi Barat sekuler-liberal setelah abad 16 dan 17. Itulah pertama perlu dicermati secara objektif sebelum bersikap menerima atau menolak harmeneutika.

Mengapa harmeneutika muncul sebagai metode interpretasi dalam tradisi Nasrani ?

Ada beberapa alasan. Pertama, mereka menggunakan harmeneutika sebagai satu metode interpretasi modern yang sudah dilepaskan dari aspek sakralisasi teks Bibel. Nah, problemnya ada pada teks Bibel itu sendiri. Karena metode interpretasi teks, maka yang pertama disimpulkan dan disimak adalah teksnya. Sampai zamannya Martin Luther di abad pertengahan, orang-orang Nasrani Barat masih menggunakan interpretasi literal yang memandang Bibel adalah kata-kata Tuhan. Terbukti kemudian begitu banyak problem dalam sejarah Nasrani ketika gereja mendominasi kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial dan politik.

Sampai pada zaman Renaissance, mereka merasa bahwa selama ratusan tahun, mereka telah mati, hidup di bawah cengkeraman kekuasaan gereja. Karena itulah, pada zaman pencerahan, mereka melakukan revolusi besar-besaran terhadap berbagai pemikiran tentang kehidupan, termasuk pula konsep keagamaan. Inti dari zaman pencerahan adalah merebaknya paham sekularisme, humanisme dan liberalisme. Penafsiran tentang keagamaan pun disubordinasikan ke dalam paham-paham ini. Termasuk pemahaman terhadap bibel tadi. Berkembanglah hermeneutika modern sebagai perangkat tafsir teks, termasuk teks kitab suci. Metode ini sangat berbeda dengan metode interpretasi sebelum-sebelumnya dan langsung berkembang pesat. Hingga liberalisasi tidak bisa dibendung lagi dan membongkar sendi-sendi agama Nasrani.

Bagaimana kemudian hermeneutika digunakan juga untuk menginterpretasikan teks Alquran ?

Di kalangan Barat muncul pertanyaan, ‘Kan sekarang agama kita sudah begini, mengapa Islam tidak kita beginikan juga? Nah untuk meliberalkan Islam hingga mengikuti jejak Barat, mau tidak mau harus memasukkan harmeneutika yang merupakan alat penting bagi liberalisasi. Hal tersebut jelas akan demikian kompleks selama Alquran dipahami sebagai kalamullah. Orang Islam akan yakin kalau kalamullah yang paling paham adalah Allah. Dan tentu manusia yang paham adalah Rasul-Nya, sahabat dan mereka yang dekat dengan Rasul.

Jadi kalau mau menafsirkan Alquran, maka harus ditafsirkan sebagaimana ditafsirkan Rasulullah, generasi sahabat atau orang-orang terdekat. Itu logikanya ‘kan. Dan itu tidak terjadi pada Bibel. Pada dasarnya, teks harus bisa dianalisis secara histori dan manusiawi. Makanya nanti, orang-orang Islam yang memakai harmeneutika akan membawa istilah-istilah yang sama dengan bibel. Misalnya, Alquran jangan ditafsirkan secara literal sesuai otoritas nabi, jamannya sudah berbeda dan sebagainya.

Tapi nyatanya tidak sedikit kalangan umat Muslim menggunakan hermeneutika ini ?

Problem yang dihadapi umat Islam secara umum bisa dilihat pada sekitar tahun 1683, setelah dinasti Usmani mengepung kota Wina untuk kali kedua dan gagal. Maka banyak yang menulis bahwa inilah mulainya kecenderungan penurunan Islam dan awal kebangkitan Barat–walau kebangkitan Barat sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Renaissance. Akhirnya banyak kaum muslim yang melihat kemajuan berbagai bidang di Barat, terjadilah fenomena westernisasi serta sekularisasi di sebagian wilayah Muslim.

Harmeunetika juga begitu. Sejatinya, harmeneutika yang kini dikembangkan sudah dilepaskan dari teks bibel. Harmeunetika modern justru menjadi alat liberalisasi nasrani. Ini juga yang sekarang dipakai untuk meliberalkan Islam. Bila kita baca buku pemikir Islam yang memakai harmeuneik, Nazir Hamid Abu Zair, kita akan tahu bagaimana konsep dia tentang wahyu. Dia katakan bahwa Alquran adalah produk budaya. Alquran memang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Dan sebagai manusia biasa, Nabi Muhammad menerima itu untuk kemudian merumuskannya. Nah ini yang menurut Nazir Hamid, menempatkan Nabi Muhammad seperti pengarang Alquran.

Kalau orang Islam sekarang mulai menggunakan hermeneutika, apa yang salah dengan tafsir ?

Itulah yang coba ditanyakan ke mereka. Sekarang tunjukkan bahwa tafsir sudah tidak bisa dipakai lagi. Sebab bila kita merujuk pada pendapat para ahli sunnah, selalu dinyatakan Alquran mesti ditafsirkan melalui sunnah Nabi atau pendapat sahabat dan tabi’i. Generasi pertama ini dianggap paling otoritatis dan memahami tafsir.

Apa sebenarnya dampak hermeneutika bagi umat Muslim ?

Kalau hermeunetika ini dikaji dengan tidak kritis dan diadopsi begitu saja untuk menggantikan tafsir Alquran maka akan terjadi dekonstruksi besar-besaran terhadap kesucian Alquran dan tafsir-tafsirnya. Orang-orang ini memang belum menghasilkan tafsir baru sebab mereka tidak mengembangkan keilmuan sistematis namun hanya melakukan dekonstruksi. Orang dibuat tidak percaya Alquran lantaran ada campur tangan manusia. Dari sini selanjutnya juga bakal lahir tafsir-tafsir yang ‘tak terkendali’. Ketika mulai keluar dari teks–orang-orang tersebut sebenarnya tidak lagi percaya pada teks Alquran–maka yang terjadi siapa pun bisa menafsiran Alquran sesuai cara pandangnya. Misalnya saja orang-orang feminis dan pluralis tentu akan mencari ayat-ayat yang dapat mendukung sikap feminisnya atau pluralisnya.

Bisakah metode ini diaplikasikan untuk menafsirkan Alquran ?

Diperlukan dua kajian penting. Pertama, perbandingan antara konsep teks Alquran dan konsep teks Bibel. Kedua, perbandingan antara sejarah peradaban Islam dan Barat. Namun untuk sementara, dapat dipahami bahwa konsep teks Alquran dan bibel serta posisi masing-masing di mata penganutnya jelas berbeda. Tradisi keagamaan dalam memahami Alquran serta bibel sudah jelas berbeda dan realitasnya menghasilkan peradaban yang berbeda pula. Seharusnya ini dipahami agar tidak bersikap latah.

Sikap kita sebagai umat Muslim ?

Saya kira yang terbaik bagi umat, forum ini bisa dijadikan peluang terbaik untuk kembali mempelajari tafsir dengan sebenar-benarnya dan hermeneutika. Susahnya pendidikan di perguruan Islam jarang yang memberikan wacana kedua-duanya. Ada yang paham tafsir tidak paham hermeneutika atau sebaliknya. Perlu dilakukan kajian secara serius. Dan bagaimana pun juga umat perlu merespon secara ilmiah dan akademis. Juga sebagai umat Muslim, sikap kita terhadap apapun, tidak hanya pada harmeunetika, sesuatu yang asing perlu ditelaah dulu. Apa manfaatnya bagi umat, sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Islam dll. Itu perlu dilihat. Harmeunetika juga sama.

Membangun tradisi keilmuan apakah sulit saat ini ?

Tidak sulit tapi memang berat. Karena kita sekarang hidup dalam kultur yang tidak menghargai ilmu. Orang lebih menghargai ratu kecantikan daripada pelajar yang menang olimpiade fisika. Dengan kondisi seperti itu, membangun tradisi ilmiah sangat tidak mudah. Sebab tradisi ilmiah adalah satu-satunya jalan untuk menuju kebangkitan.

Tidak ada komentar: