Sabtu, 15 Februari 2014

Lagi, Soal Rumput

Setelah hampir sebulan meninggalkan rumah ayah di Canggu, saya kembali menginjakkan kaki di dalamnya. Kotor bukan main, berdebu. Belum lagi halamannya. Rumput tumbuh tinggi. Mirip hutan mini. Wah, alamat kerja keras nih.

Rabu, 13 Februari, saya mulai kerja keras itu. Pesan ayah, urusi dulu rumput yang berada di luar pagar, di sisi jalan. Memang kalau dilihat, pemandangan rumput liar bagian luar, merusak suasana tepi jalan yang seharusnya asri.

Langkah awal, saya cabut dulu tanaman liar yang bukan jenis rerumputan, yang rata-rata tumbuh hampir sepinggang orang dewasa. Lebih mudah menggunakan tangan rupanya, sebab struktur tanahnya tidak kering dan tidak terlalu padat. Beres dengan tanaman liar yang tuntas dicabut, saya beralih ke rumput yang tumbuh tinggi, melebar, tidak teratur. Untuk yang ini, saya menggunakan bantuan sosrok, alat macam arit, namun lancip di kedua sisinya. Jadi, oke saja digunakan ke arah maju ataupun mundur.

Untuk urusan rumput ini, karena agak sedikit lebih sulit, maka lebih lama mencabutnya. Sampai menjelang tengah hari, pukul sebelas, saya putuskan rehat dulu. Sekaligus mendengarkan acara favorit di radio. Berita olahraga RRI yang disiarkan tiap hari pukul sebelas. Lumayan menghibur dan mengusir lelah.

Tapi proyek pencabutan rumput baru berlanjut ba'da ashar. Beberapa rimpun besar yang masih tersisa, saya cabuti dengan bantuan sosrok, dan dikumpulkan di kaki pohon sawo dan matoa.

Setelah selesai dengan rumput besar, saya beralih ke rumput yang lebih kecil. Kelihatannya lebih mudah, padahal kenyataannya tidak juga. Bedanya, kalau rumput besar, dengan bantuan tangan, daun-daun panjangnya ditarik ke atas, satu arah, dan pangkal akarnya dipisahkan dari tanah dengan bantuan sosrok, jadi tidak  terlampau susah dengan teknik tadi, tapi untuk rumput dengan rimpun yang kecil, daunnya pendek, jadi bantuan tangan, tidak maksimal, lebih mengandalkan peran sosrok yang menyerbu akar.

Sisi lain yang menarik dari kerja mencabuti rumput hari itu adalah kata-kata "semprot gawoh" yang kembali nyaring terdengar di telinga. Sebenarnya saya tidak terlalu memperdulikan omongan mereka yang lewat. Karena harus fokus dengan apa yang saya kerjakan. Tapi, karena menyangkut etika, saya jawab sekenanya saja, entah dengan anggukan, senyuman, atau dengan perkataan "iya".

Apa maksudnya "semprot gawoh" ? Gawoh (bahasa Lampung) artinya "saja". Jadi maksudnya "semprot saja!". Kalimat itu sebenarnya sudah lama mampir di telinga saya. Karena tetangga yang saban hari lewat depan rumah seringkali melihat saya duduk berjongkok di depan rumah sibuk mencabuti rumput yang tumbuh terlalu tinggi dan memberi kesan tidak rapi.

Maka mereka menyarankan agar halaman rumah disemprot saja. Maksudnya disemprot dengan obat kimia yang dapat mematikan rumput dan tanaman liar itu. Dengan disemprot, saya tidak usah lagi capek-capek tiap hari duduk berjongkok hanya untuk mencabutinya.

Tapi saya menolak saran itu. Dalam hati tentunya. Kalau terang-terangan, pasti mereka tersinggung, walaupun soal itu adalah hak saya.

Masalahnya memang kegiatan mencabut rumput di halaman rumah, di desa ini, tergolong aneh untuk saat ini. Kalau di masa lampau, mungkin masih biasa, karena belum ada obat pengendali rumput itu. Tapi zaman sekarang, orang sudah biasa mengandalkan "obat" tersebut. Jadi, melihat tanaman liar depan rumah, dan ingin memusnahkannya, tinggal disemprot saja, beres.

Keengganan saya menuruti saran para tetangga bukannya tanpa pertimbangan. Bukan juga ingin menyusahkan diri sendiri dengan mencabuti rumput hampir tiap hari. Tapi banyak faktor pendorongnya.

Kegiatan mencabut rumput itu, saya anggap sebagai olahraga. Sebab saat ini susah rasanya berolahraga di lingkungan ini. Selain tidak ada teman, ditambah juga ketiadaan sarana, momen, waktu, yang mendekatkan pada kesempatan berolahraga. Jadilah kegiatan itu saya ambil untuk berolahraga. Menguras keringat.

Selain itu, ada keinginan untuk punya sedikit keterampilan menggunakan sosrok. Dan itu sedikit kelihatan hasilnya. Awalnya, dulu, saya hanya mencabuti rumput tanpa teknik dan hasilnya amburadul. Sekarang walaupun belum rapi benar, hasilnya cukup lumayan. Tangan juga kelihatan lebih cekatan.

Saya juga tidak bisa mengabaikan keadaan tanah. Merasa sayang dan eman dengan tanah, serta tidak tega kalau disemprot. Karena, unsur kimiawi obat pasti berpengaruh banyak bagi tanah beserta zat yang terkandung di dalamnya.

Nah, omongan tetangga "semprot gawoh" tersebut mengalami masa surut dan bahkan berhenti sama sekali ketika makin lama saya tetap melakukan aktivitas cabut rumput itu. Mungkin mereka bosan sarannya tidak ditanggapi.

Dan ketika pagi itu omongan-omongan tersebut muncul lagi, saya menganggapnya dengan cara biasanya. Saya berpikir, diam-diam saya merindukan ocehan-ocehan itu. Lagipula, itu bisa menambah semangat dalam bekerja. Sekaligus untuk membuktikan, masalah yang langsung dikerjakan akan lebih cepat selesai daripada hanya berbicara dan menunggu waktu yang tepat untuk memulainya.

Secara tidak langsung, saya memberikan kebebasan untuk semua orang yang melihat, menyaksikan saya bekerja, juga bagi yang tak berhenti mengocek dengan saran "bijak"nya, untuk menilai sendiri. Kalau mengikuti saran mereka, menyanggupi untuk menyemprotnya, tentu akan membeli obatnya dulu. Lalu menyiapkan alatnya. Kemudian memanggil orang untuk meng"eksekusi"nya. Apakah setelah disemprot itu rumputnya langsung hilang seketika ?. Tentu tidak, itu tetap masih harus berproses. Untuk melihat rumput berubah jadi kering dan menguning saja harus menunggu hitungan hari. Tapi, dengan keputusan yang saya ambil, mencabutnya dengan tangan sendiri, dan atas izin Allah, deretan rumput itu habis.

Dan keesokan paginya, mereka keluar dari rumah, lari pagi, berangkat sekolah, atau berangkat kerja, lewat di depan rumah, dapat melihat sendiri hasilnya. Deretan "hutan mini" yang kemarin nampang di tepi jalan, sudah hilang, jadi rapi. Waktunya para komentator menilai, dan apakah mereka masih ingin memberi saran, "semprot gawoh" ?

Talk Less Do More !

Tidak ada komentar: