Kamis, 27 Maret 2014

Menghafal yang Bukan Sekedar Omong Kosong



“Kok kamu ga’ nerusin ke Madinah ?”
“Kok ga ke Mesir ?”
“Kamu punya Pluang besar loh dengan hafalan qur’anmu…”
“Wah, rugi loh kalo disia-siain”

Tentu banyak teman huffadz yang menggeluti dunia akademik pernah mendapat pertanyaan atau celetukan serupa. Lalu dibalas cengiran atau senyuman saja. Tentu saja, setiap orang punya kecenderungan dan prioritas yang beragam. Dan, pertanyaan itu tidak akan cukup kalau dijawab dengan kalimat atau penjelasan saja. Sebab, butuh waktu lama untuk meyakinkan si penanya atau komentator mengenai jawaban atau alas an yang dikemukakan. Kurun waktu pemberian jawaban itu ada baiknya tidak hanya dihabiskan untuk kemudian menuangkannya dalam kata dan kalimat belaka. Tapi dengan bukti. Dengan karya nyata. Ya, tentu saja.

Menarik membaca sebuah tulisan yang terpampang di dinding kamar seorang sahabat. Bunyinya “ Dengan Al-Qur’an, segala keinginanmu dapat tercapai”.

Substansi kalimatnya jelas. Maknanya juga tidak bias, sebab tidak mengandung majas atau perumpamaan. Tapi, boleh saja sebagian orang menganggapnya sebagai omong kosong belaka. Sebab bukan rahasia lagi jargon yang sekarang berkuasa adalah “Dengan uang segala keinginanmu dapat tercapai”.

Mengesampingkan sejenak anggapan “omong kosong” itu, memandang kiprah para huffadh saat ini di bidang masing-masing. Ternyata tidak hanya di ranah akademik saja mereka berkecimpung. Ada yang jadi pengusaha, peternak, petani, muballigh, dokter, mandor, musisi, atlet, dan di banyak lini kehidupan lainnya.

Kesediaan menghadapi pilihan hidup itu tidak mengurangi semangat menjaga hafalan mereka. Sebab doktrin Pak Kyai yang kuat terus membekas. Berulang kali tanpa bosan beliu berpetuah “Saya tidak bangga jika kelak kalian jadi sarjana, jadi insinyur, jadi Dokter, jadi Profesor, Tapi saya bangga jika kalian tetap menjaga hafalan Al-Qur'an”.

Tanpa  memandang karier atau status yang disandang, menghilangkan sebuah keharusan bagi mereka untuk terjun di satu bidang tertentu. Maka menyebarlah mereka sesuai dengan kecenderungannya di segala bidang, sembari terus berusaha menjaga semangat menghafalnya.

Sampai pada suatu ketika, dengan pencapaian di bidang masing-masing, kelak bertemu kembali dalam sebuah kesempatan berharga. Saling bercerita tentang masa lalu, menularkan semangat untuk para junior dan generasi penerus. Mungkin mereka akan bertutur kata dengan penuh antusias, menyandingkan profesinya dengan semangat tahfidhnya, semisal berkata :

Ana dokter, walakinni Haafidz!”
“ Saya bos, saya juga seorang Hafidz!”
“I am a football player, and I am a Memorizer, Haafidz!”
“I am a musician and a Memorizer too !”
“I’m professor, n would like to tell you that I’m Haafidz!”
“Saya Jenderal, juga  Haafidz!”

Dan lain sebagainya

Dan saat semua itu benar-benar terjadi, apakah semuanya tetap berstatus “omong kosong” ?
Silakan dijawab sendiri.

Tidak ada komentar: