“Kok kamu ga’ nerusin ke Madinah ?”
“Kok ga ke Mesir ?”
“Kamu punya Pluang besar loh dengan hafalan qur’anmu…”
“Wah, rugi loh kalo disia-siain”
Tentu banyak teman huffadz yang menggeluti dunia akademik
pernah mendapat pertanyaan atau celetukan serupa. Lalu dibalas cengiran atau
senyuman saja. Tentu saja, setiap orang punya kecenderungan dan prioritas yang
beragam. Dan, pertanyaan itu tidak akan cukup kalau dijawab dengan kalimat atau
penjelasan saja. Sebab, butuh waktu lama untuk meyakinkan si penanya atau
komentator mengenai jawaban atau alas an yang dikemukakan. Kurun waktu
pemberian jawaban itu ada baiknya tidak hanya dihabiskan untuk kemudian
menuangkannya dalam kata dan kalimat belaka. Tapi dengan bukti. Dengan karya
nyata. Ya, tentu saja.
Menarik membaca sebuah tulisan yang terpampang di dinding
kamar seorang sahabat. Bunyinya “ Dengan Al-Qur’an, segala keinginanmu dapat
tercapai”.
Substansi kalimatnya jelas. Maknanya juga tidak bias, sebab
tidak mengandung majas atau perumpamaan. Tapi, boleh saja sebagian orang
menganggapnya sebagai omong kosong belaka. Sebab bukan rahasia lagi jargon yang
sekarang berkuasa adalah “Dengan uang segala keinginanmu dapat tercapai”.
Mengesampingkan sejenak anggapan “omong kosong” itu,
memandang kiprah para huffadh saat ini di bidang masing-masing. Ternyata tidak
hanya di ranah akademik saja mereka berkecimpung. Ada yang jadi pengusaha,
peternak, petani, muballigh, dokter, mandor, musisi, atlet, dan di banyak lini
kehidupan lainnya.
Kesediaan menghadapi pilihan hidup itu tidak mengurangi
semangat menjaga hafalan mereka. Sebab doktrin Pak Kyai yang kuat terus
membekas. Berulang kali tanpa bosan beliu berpetuah “Saya tidak bangga jika
kelak kalian jadi sarjana, jadi insinyur, jadi Dokter, jadi Profesor, Tapi saya
bangga jika kalian tetap menjaga hafalan Al-Qur'an”.
Tanpa memandang
karier atau status yang disandang, menghilangkan sebuah keharusan bagi mereka
untuk terjun di satu bidang tertentu. Maka menyebarlah mereka sesuai dengan
kecenderungannya di segala bidang, sembari terus berusaha menjaga semangat
menghafalnya.
Sampai pada suatu ketika, dengan pencapaian di bidang
masing-masing, kelak bertemu kembali dalam sebuah kesempatan berharga. Saling
bercerita tentang masa lalu, menularkan semangat untuk para junior dan generasi
penerus. Mungkin mereka akan bertutur kata dengan penuh antusias, menyandingkan
profesinya dengan semangat tahfidhnya, semisal berkata :
“ Ana dokter, walakinni Haafidz!”
“ Saya bos, saya juga seorang Hafidz!”
“I am a football player, and I am a Memorizer, Haafidz!”
“I am a musician and a Memorizer too !”
“I’m professor, n would like to tell you that I’m Haafidz!”
“Saya Jenderal, juga Haafidz!”
Dan lain sebagainya
Dan saat semua itu benar-benar terjadi, apakah semuanya
tetap berstatus “omong kosong” ?
Silakan dijawab sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar