Minggu, 16 Agustus 2015

Tetap Merdeka

Tanggal 17 Agustus 2015
Sejenak mengheningkan cipta bagi para pejuang. Tanpa perjuangan kemerdekaan itu Takkan ada. Kebebasan yang direbut dari tangan penjajah dengan keringat, darah, dan air mata. Sampailah bangsa yang besar berdiri sendiri. Hidup dengan kedaulatannya.
Para penerus tidak boleh lupa. Kemerdekaan yang telah dihirup udaranya dan direguk segarnya bukan hadiah tanpa punya harga. Ia bukan pula lencana yang dipasang di dada tanpa punya makna. Atau bendera yang terpasang pada tiang terpancang di halaman rumah semata. Bukan. Bukan itu.
Sekiranya para pejuang itu tidak berpikir akan masa depan, tentu takkan tergerak hatinya. Tidak akan punya kerelaan berkorban.. Tapi yang dipikirkan semata-mata untuk kemajuan bangsa. Bagaimana hidup anak dan cucunya nanti bila tanah masih terjajah. Dan bagaimana bukan sekedar bagaimana. Pertanyaan bukan sekedar pernyataan, yang jawabannya adalah pernyataan. Pernyataan diikuti tindakan.
Berjuanglah mereka. Meraih mimpi keluar dari jurang mendaki gunung yang tinggi. Penuh kesusahan, bergelimang kesengsaraan. Tapi semangat tetap membara. Visi ke depan jelas. Kebebasan, kemerdekaan, kebahagiaan.
Tak ada satupun yang suka bilamana dikatakan bangsa ini belum merdeka. Senyatanya dalam arti hokum internasional, kedaulatan mengurusi diri sendiri adalah tanda bahwa sebuah bangsa sudah merdeka. Bebas menentukan jalan hidupnya. Tidak harus menunggu pihak lain untuk menikmati hasil sendiri, memilih pemimpin sendiri.
Namun peringatan serta kritik terus dilantunkan perihal “kemerdekaan” tersebut. Pernyataan belum merdeka cenderung masuk dalam pemaknaan filosofis. Ranah yang tidak dapat diindera. Hanya dapat dicapai dengan berpikir lebih jauh. Dengan perenungan mendalam.
Peringatan “belum merdeka” mengingatkan para penerus dari kelenaan. Mewanti-wanti penyalahgunaan perasaan bebas yang keluar batas. Menegur dengan keras setiap tindakan yang justru melecehkan makna perjuangan itu sendiri. Serta menambah keyakinan bahwa “kualitas kemerdekaan” masih bisa ditingkatkan lagi.
Merdeka bukan hanya di lahirnya. Di batinnya juga. Bebas bukan hanya di luaran, tapi juga di hati dan pikiran. Kebebasan yang demikian merupakan fitrah yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia.
Kritik mengenai kemerdekaan seyogyanya ditangkap dengan perasaan yang jernih. Lalu dicerna secara matang. Sehingga hasilnya akan tepat sasaran. Sebab segala kritik yang membangun tentu menginginkan adanya suatu perbaikan yang menghasilkah kebaikan.
Faktanya banyak yang salah kaprah menanggapi pernyataan soal “belum merdeka”. Menganggap bahwa bangsa belum merdeka di mata hokum, ekonomi, politik. Padahal sudah diakui oleh bangsa yang lainnya.
Kesalahpahaman menimbulkan perasaan rendah diri. Rendah diri bukan saja di hadapan bangsa lain. Tetapi rendah diri mengakui bahwa bangsa yang sekarang tanahnya dipijak, udaranya dihirup dan airnya diminum adalah bangsanya sendiri.
Bentuk perasaan rendah diri melahirkan sikap apatis yang parah. Berhenti melakukan sesuatu untuk bangsa ini. Masih bekerja, tapi hanya untuk dirinya sendiri, dan untuk kebutuhan keluarganya saja. Memikirkan sebatas kelahgsungan hidup anak cucunya saja. Lainnya tidak. Tetangga tidak. Desa tidak. Apalagi pemerintahan.
Apatisme yang muncul akhirnya mendorong orang untuk berhenti mendengarkan. Berhenti melihat peristiwa yang ada di negeri ini, karena semuanya hanyalah kumpulan penderitaan yang berulang-ulang. Tidak mau tahu apa yang terjadi dengan bangsanya.
Parahnya lagi, orang yang apatis dapat juga mengajak orang lain untuk sama-sama bersikap apatis. Guru mengajak muridnya. Orang tua mengajak anaknya. Pemimpin mengajak bawahannya. Akhirnya wabah apatisme meluas. Semua memilih berhenti mendengarkan, berhenti membaca, berhenti belajar. Tanpa pernah tahu bahwasannya “Berhenti berarti Mati”.
Di antara rimbun kabar negatif, masih banyak kenyataan positif yang tidak nampak . Bisa karena disembunyikan,, ditutup-tutupi, atau mungkin dihilangkan dari peredaran. Kenyataan tersebut ada di tempat-tempat terpencil
Sekelompok remaja di kota besar meluangkan akhir pekan di tempat kumuh. Mengajari anak-anak terminal. Mereka anak-anak pengamen, supir bus, preman, pemulung, pengangguran. Coba diangkat martabatnya oleh anak-anak muda tersebut. Dengan diajari mengaji, membaca, berpidato, melukis, dan keterampilan lainnya. Perjuangan memutus rantai kebodohan.
Lebih baik bersikap positif bertindak nyata. Ketimbang bersikap negatif dan terjebak dalam baying-bayang. Anak muda harus punya semangat juang yang tinggi.  Merdeka !

Tidak ada komentar: