Selasa, 10 September 2013

Ke Mana Jalan Hidup Kita Kawan ?

Kawan, kita tidak pernah tahu jalan hidup membawa kita ke arah mana.

 Saat kita masih menjadi santri, banyak aturan sana-sini. Menyaksikan anak-anak di luar sana bermain, tertawa sepuasnya, serasa tanpa beban hidupnya. Sementara kita harus hidup dengan disiplin keras tingkat tinggi. Membandingkannya serasa menyebalkan, tapi kita tetap bertahan. Menikmati semua apa adanya.

Saat anak-anak seumuran kita asyik dengan cinta monyetnya. Sibuk pilah-pilih cewek kelas sebelah. Surat-suratan dengan kata-kata paling puitis. Sementara kita tak diperkenankan untuk bersikap begitu. Aturan ma’had melarangnya. Kita justru dipaksa sibuk dengan seabrek kegiatan. Olahraga, pramuka, pidato, bahasa, musik, organisasi, dan segudang masalah menumpuk yang seringkali membuat lelah hingga tubuh rebah. Keterpaksaan di awal, menjadi keasyikan di tengah perjalanan, dan kita ingin melanjutkannya.

Kita memang tidak pernah tahu jalan hidup akan membawa kita ke arah mana. Saat kita melihat satu persatu orang yang kita cintai meninggalkan kita, mangkat, wafat. Keluarga kita, kakak kelas, teman sekamar, adik kelas, asatidz, murid, berubah kaku jadi mayat. Kita setengah meratap dan menyesali sembari bergumam lirih,”kenapa orang-orang baik begitu cepat pergi ? kenapa orang-orang jahat masih dibiarkan hidup ?”. Jelas para guru melarang kita atas pertanyaan bodoh itu. Tanya yang lebih cenderung pada gugatan terhadap Tuhan. Yang diajarkan adalah kita harus menerima kenyataan itu. Kepergian orang-orang yang kita cintai pertanda perjuangan harus terus berlanjut. Amanat, impian, wasiat, serta cita-cita mereka harus kita penuhi. Kita, orang-orang yang masih dianugerahi hidup.

Jelas, kita takkan pernah tahu jalan hidup akan membawa kita ke arah mana.

Saat anak-anak sebaya kita diberi fasilitas serba mewah. Handphone, motor, dan segudang peralatan lainnya sebagai tanda kemajuan hidup. Kita justru hidup dalam keterbatasan. Makan, minum, buang air, sembahyang, belajar, semuanya serba seadanya. Keadaan itu mendidik kita bertahan hidup. Mengajarkan teknik survival tingkat tinggi.

Yakin, kita takkan pernah tahu jalan hidup akan membawa kita ke mana.

Saat teman sebaya masuk ke sekolah tingkat menengah ternama, kelas atas, kita masih berkutat di kampung. Menghafal kitab suci, belajar Bahasa Arab dan Inggris, serta keterampilan lainnya. Yakin, kita takkan pernah tahu jalan hidup akan membawa kita ke mana. Saat kita lulus dari sekolah tingkat atas, dan itupun masih di ma’had, sebuah tempat terpencil yang mungkin saja tidak masuk sistem navigasi tercanggih saat ini. Teman-teman di luar sana sekolah di universitas bergengsi, masuk dalam jajaran perguruan tinggi terbaik di kawasan, bahkan masuk nominasi tingkat global. Bicara tentang kebebasan, tentang agama yang umatnya perlu dioperasi otaknya agar berfikir lebih kritis dan maju lagi. Karena bagi mereka umat tersebut terlalu kolot, primitif, dan terbelakang. Sementara kita, kuliah seadanya, dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Harus memikirikan tugas yang seabrek, mengurus santri (anak orang) hingga tak sempat rasanya mengurus diri sendiri. Lulus dengan nilai pas-pasan dengan tugas skripsi yang selesai mepet deadline. Sementara di luar sana, teman-teman bebas mengurus dirinya sendiri, bisa fokus dengan kuliah, konsentrasi dengan tugas yang memungkinkan mereka meraih predikat summa cumlaude.

Kita tidak tahu, takkan pernah tahu jalan hidup akan membawa kita ke mana.

Saat mereka di luar sana, sudah jelas jodohnya, tanggal, serta tempat nikahnya, bahkan di usia muda sudah menimang bayi sembari ditemani istri tercinta. Kita harus mengayomi anak orang lain dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Menemani tidur, belajar, sembahyang. Mengajari cara berpakaian yang benar, menghukum kalau mereka nakal, tidak bisa diatur, atau kelewat batas. Kita takkan pernah tahu jalan hidup membawa kita ke mana. Dan semuanya, sudah sampai di sini perjalanan kita.

Dari tempat terpencil ini, kita sudah jelajahi dunia lewat piranti internet, melakukan pengiriman data-data penting lewat e-mail, jual-beli barang online, transaksi bank untuk barang-barang ma’had, tiket kereta api, pesawat, dan urusan lainnya. Dan mereka jelas tidak pernah tahu, apalagi peduli.

 Dari tempat terpencil ini, lobi tingkat tinggi berlangsung. Tembus ke gubernur, menteri, presiden, bahkan kepala Negara negeri tetangga. RT,RW,camat, bupati, bukan lagi kelasnya. Dan mereka tidak pernah tahu, apalagi peduli. Dari tempat terpencil ini, syiar Islam mengemuka. Tersebar ke seantero negeri lewat jaringan antar pesantren dan universitas. Dekat ke masyarakat, melekat di hati mereka. Dan mereka begitu mencintai dan merindui kita. Kita memang tidak pernah tahu,,,,,,,,

Tidak ada komentar: